Praktik Sistem Khilafah dalam Lintasan Sejarah Islam
DOI:
https://doi.org/10.32678/tsaqofah.v17i2.2571Keywords:
lintasan sejarah, khilafahAbstract
Sampai saat ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memperlihatkan citra keragaman dalam memilih dan mempraktekkan bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem kenegaraan. Sebagian memilih dan mempraktekkan sistem monarki atau kerajaan, sebagian lainnya memilih dan mempraktekkan sistem Republik. Keragaman bentuk kenegaraan dan pengalaman politik “negara-negara Islam” tersebut disebabkan selain bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan para pemikir politik Muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern, harus diakui juga banyak dipengaruhi oleh tingkat kedalaman pengaruh Barat atas wilayah Muslim tertentu. Dalam sejarah, umat Islam pernah memunculkan sedikitnya tiga buah teori kenegaraan yang kemudian dipraktekkan oleh mereka. Pertama, mengacu kepada teori tentang khilafah yang timbul dari realitas sejarah, segera sesudah Nabi s.a.w. wafat. Kedua, bertolak dari teori imamah yang terutama berkembang di lingkungan kaum Syi‟ah. Dan ketiga, dapat pula berkembang dari teori imarah. Ketiga istilah dalam diskursus politik Islam tersebut, pada prinsipnya terkandung pengertian yang boleh dikatakan sama, yaitu menyangkut pemerintahan yang meliputi kepentingan-kepentingan sekuler maupun keagamaan.
Teori khilafah bertolak dari dasar pemikiran tentang keharusan dibentuknya lembaga kekuasaan yang mewarisi, menggantikan dan meneruskan tradisi yang telah dijalankan Rasulullah s.a.w. sistem ini kemudian diyakini oleh sebagian umat Islam sebagai suatu lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam, karenanya diklaim sebagai sebuah alternatif yang paling ideal untuk dipraktekkan. Hanya dengan cara itulah umat Islam dapat menyelesaikan berbagai persoalan atau ketimpangan yang melilit kehidupan umat di negeri ini.
Dalam teori negara modern, sedikitnya dapat dikemukakan tiga varian. Pertama, teori yang melihat negara, semata-mata sebagai wadah internasional yang netral dan instrumental. Negara adalah wadah dimana semua kepentingan masyarakat mendapat perhatian yang layak, yang berkompeten memperjuangkan hak-hak masyarakat yaitu individu-idividu yang mewakili kepentingan-kepentingan kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam kenyataannya, hanya segolongan tertentu dalam masyarakat saja yang dominan yang menguasai instrumen negara untuk kepentingan golongan tertentu. Ketiga, dalam masyarakat kapitalis umpamanya, negara hanyalah wadah eksekutif yang menyelenggarakan kepentingan kaum borjuis. Kecuali ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang terus beroposisi dan mendesak negara untuk mempertimbangkan kepentingan rakyat banyak. Maka negara akan berkembang menjadi arena kepentingan berbagai golongan



