KESETARAAN GENDER DI BANTEN DALAM PANDANGAN KIYAI DAN JAWARA
DOI:
https://doi.org/10.32678/alqalam.v21i101.1629Keywords:
Perempuan, Kiyai, Jawara, Kesetaraan GenderAbstract
Terdapat dua entitas dari masyarakat Banten yang cukup terkenal, yakni kiyai dan jawara. Keduanya memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis berkat kharisma yang dimilikinya. Pengaruh kharisma tersebut terbentuk sudah cukup lama, yakni semenjak pemerintahan kolonial Belanda berhasil menganeksasi Kesultanan Banten.
Dalam masyarakat seperti Banten yang mengalami penetrasi Islam sangat mendalam sehingga menjadi basis bagi identitas kelompok, kedudukan dan peran sosial kiyai, sebagai tokoh agama, menjadi sangat penting. Kiyai menjadi kelompok elit sosial yang selain memiliki peranan tradisionalnya sebagai guru ngaji dan kitab di pesantren, guru tarekat, guru ilmu ''hikmah" dan mubaligh, juga berperan dalam transformasi sosial politik di Banten sehingga sosok penting yang banyak mempengaruhi pembentukan kebudayaan dan sejarah perjalanan masyarakat ini.
Demikian pula jawara, ia kini dikenal sebagai identitas dari lembaga adat Banten. Kemampuannya dalam memanipulasi kekuatan supernatural (magi) dan keunggulan dalam hal flsik telah membuatnya menjadi sosok yang ditakuti sekaligus dikagumi, sehingga terkadang muncul menjadi tokoh yang kharismatik dan heroik. Peranannya juga tidak hanya terbatas kepada guru persilatan, ilmu kesaktian atau "tentara wakaf", tetapi juga sebagai pemimpin sebuah pergerakan sosial. Bahkan untuk saat ini, para jawara memiliki peran penting dalam sosial politik masyarakat Banten.
Mengenai pandangan kedua kelompok masyarakat terhadap kesetaraan gender masih sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat sensitivitas gender mereka dalam menafsirkan kitab suci. Hal tersebut berimplikasi pada rendahnya kesataraan gender dalam pembagian tugas di rumah tangga dan toleransi terhadap keterlibatan perempuaan dalam sektor publik. Sehingga hal tersebut juga memiliki pengaruh tentang masih kecilnya keterlibatan perempuan di Banten dalam sektor-sektor publik. Sebab ada hambatan kultural yang menghalangi mereka untuk terlibat dalam ranah publik












