Hukum Anak Angkat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif
DOI:
https://doi.org/10.32678/jsga.v8i02.5507Keywords:
Anak Angkat, Hukum Islam, Hukum PositifAbstract
Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Hal tersebut berlaku beragama Islam walaupun bertentangan dengan hukum Positif. Dan orang Islam tidak mempunyai hak untuk membagikan warisan kepada anak angkat dikarenakan bukan darah dagingnya (nasab) yang jelas dan yang lebih berhak mendapatkan warisan adalah anak kandung dikarenakan terdapat hak dalam pewarisan sedangkan anak angkat tidak bisa mendapatkannya dikarenakan bukan hubungan sedarah, Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Ahzab Ayat 4-5.
Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hubungan hukum antara orangtua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab.
Islam menekankan larangan menasabkan anak angkat kepada orang tua angkat sebab hal tersebut berhubungan dengan warisan dan perkawinan. Alasan tersebut merupakan alasan yang logis, sebab jika kita mengatakan anak angkat sebagai anak angkat sebagai anak sendiri yaitu lahir dari tetesan dari orang tua. Maka jelas hal tersebut merupakan suatu pengingkaran yang nyata baik terhadap Allah maupun terhadap manusia. Apabila anak angkat dikatakan tetap sebagai anak angkat yang berarti statusnya bukan sebagai anak kandung, tentunya hal tersebut berpengaruh pula terhadap status kewarisan dan perkawinannya. Akan tetapi dalam pasal 1 ayat 9 undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Dengan kata lain, anak angkat dapat disebut sebagai ahli waris tergantung dari latar belakang terjadinya anak angkat tersebut, yang dipakai di Indonesia dan di praktekkan adalah terdapat sinkronisasi antara hukum Islam dan Hukum Positif yang dimana kewenangan pengadilan agama terdapat di undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang pengangkatan anak berdasarkan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak dan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 176 sampai dengan pasal 193
Downloads
References
Dede Ibin, Pembuktian keabsahan anak angkat/orang tua angkat dalam penyelesaian gugatan warisan wasiat wajibah di pengadilan agama, (Jakarta:Mimbar Hukum, 1999).
Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, (Yogyakarta:Liberty,2000).
Jean K. Matuankota, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angkat Dalam Memperoleh Kejelasan Status Hukum Melalui Pencatatan Pengangkatan Anak” (Suatu Tinjauan Dari Perspektif Hak Asasi Manusia), Jurnal Sasi Vol. 17 No.3 Bulan (Juli-September 2011).
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 Ayat (1)
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta:Kalam Mulia,2003).
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia juga Kamus Munjid dalam Muderi Zaini, (Jakarta:Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Pentafsiran Al-Qur’an,1996)
Musthofa, Pengangkatan anak kewenangan pengadilan agama, (Jakarta:Kencana,2008).
Onesimus Sahuleka, Kedudukan Anak Angkat dalam pembangunan Hukum Keluarga Nasional.
Peraturan Menteri Sosial RI Pasal 5 Nomor 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak
Peraturan Pemerintah pasal 7 Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta:Sinar Grafika).
Tutik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,2010)
Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Yan Pramandya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang:Aneka Ilmu,1993)
Yefrizawati, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Fakultas Hukum:Universitas Sumatera Utara, 2005)


