PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NAFKAH ISTRI
DOI:
https://doi.org/10.32678/bildalil.v1i01.116Keywords:
Perceraian, Pegawai Negeri Sipil, Hukum IslamAbstract
Hukum Islam tidak membedakan status seseorang dalam pembebanan hukum. Oleh karena itu suami yang mentalak istrinya baik Pegawai Negeri Sipil atau bukan maka mempunyai kewajiban yang sama, yaitu: 1) memberi mut’ah kepada bekas istri. Kewajiban tersebut lahir karena semata-mata adanya perceraian karena kehendak istri, sebagaimana kewajiban membayar mahar karena adanya akad nikah, 2) memberi nafkah iddah kepada bekas istri yang ditalak raj’i. Kewajiban tersebut karena adanya intifa’ bagi bekas suami, karena bagi suami dapat rujuk kembali selama istri masih dalam masa iddah. Hak istri yang dicerai suami yang berstatus Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990; Sebagai orang Islam istri yang ditalak suami mendapat mut’ah dan nafkah iddah, maskan serta kiswah; sebagai bekas istri Pegawai Negeri Sipil, ia mendapat ½ (setengah) dari penghasilan suami jika tidak punya anak, atau dapat 1/3 (sepertiga) jika mempunyai anak. Putusan Pengadilan Agama Serang tidak menerima gugatan penggugat dari bekas istri Pegawai Negeri Sipil/BUMN tentang pembagian penghasilan suami Pegawai Negeri Sipil/BUMN, dan menyerahkan pada instansi yang bersangkutan.













